BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan yang akan menjamin manusia terus berkuasa
di dunia ini. Melalui proses pendidikan manusia akan terus mengembangkan
kamampuannya. Ini tidak bisa dibantah adapun hal yang menjadi persoalan adalah
bagaimana proses pendidikan harus berjalan dan bagaimana teknisnya pendidikan
dilaksanakan. Kenyataannya miliaran manusia di dunia mengalami kondisi yang
beragam.
Persoalan
inilah yang saya angkat dalam makalah ini, yakni bagaimana pendidikan dapat
dilaksanakan dan dinikmati oleh seluruh manusia di bumi ini tanpa membedakan
keberagamannya. Setiap manusia mempunyai hak-hak sama dan jika kenyataannya ada
kesenjangan berarti mungkin ada ketidakadilan disana.
Makalah ini mempertemukan berbagai teori pendidikan
yang telah dikembangkan dari teori pendidikan pada masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang. Dengan pembahasan yang cukup teknis dimaksudkan agar
pembaca bisa mengetahui bagaimana citra rasa bidang tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
itu teori pembelajaran?
2. Apa fungsi teori pembelajaran?
3.
Apa saja macam-macam pembelajaran?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori
Dari
bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian
konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena
social tertentu.
2.2 Fungsi-fungsi Teori
sebuah teori pembelajaran biasanya
memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat. Teori
pembelajaran adalah pendekatan terhadap suatu bidang pengetahuan; suatu cara
menganalisis, membicarakan dan meneliti pembelajaran. Teori pembelajaran
menggambarkan sudut pandang peneliti mengenai aspek-aspek pembelajaran yang
bernilai untuk dipelajari, variabel-variabel independen yang harus dimani pulasi
dan variable-variabel dependen yang harus dikaji, teknik-teknik penelitian yang
hendak digunakan, dan bahasa apa yang harus digunakan untuk mendiskripsikan
temuan-temuannya. Dengan demikian teori berfungsi sebagai petunjuk sumber
stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah.
Teori pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar
pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran ke dalam ruang yang cukup kecil.
Dalam proses peringkasan ini, beberapa segi akurasi dan detail cenderung untuk hilang. Dalam
ilmu-ilmu yang sangat eksak dan berkembang dengan baikseperti fisika dan kimia,
teori-teori bisa dengan sangat bagus meringkas hokum-hukum sehingga
prediksi-prediksi yang dihasilkan dari teori bisa aman akuratnya dengan
hokum-hukum yang jauh lebih detail. Psikologi sejauh ini kurang berhasil dengan
usahanya menemukan teori-teori semacam itu. Teori-teori pembelajaran, dalam
upayanya meringkas sejumlah besar pengetahuan, kehilangan akurasi dan
kekomplitan. [1]
2.3
Macam-macam Teori Pembelajaran
1. Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah
teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949)
berdasarkan eksprimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksprimen Thondike
ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor
kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang
tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan
bagian dalam sangkar yang disebut puzzle
box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing
untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu.
Mula-mula mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka
pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana,
secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu
sangkar tersebut. Eksprimen puzzle box ini
kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki
(Hintzman, 1978).
Berdasarkan
eksprimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara
stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R
Bond Theory” dan “S-R Psycology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga
terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan
(Hilgard & Bower, 1975).
Apabila
kita perhatikan dengan seksama, dalam eksprimen Throndike tadi akan kita dapati
dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang
sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali akan tidur
saja dalam puzzle box yang
mengurungnya. Dengan keadaan lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala
belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hamper dapat dipastikan bahwa
motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya
makanan di muka pintu puzzle box.
Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons
dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut low of effect. Artinya, jika sebuah
respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulasi dengan
respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu)
efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dengan respons
tersebut. Hokum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer
dalam teori operant conditioning
hasil penemuan B.F. Skinner.
Disamping
low of effect, Thorndike juga
mengemukakan dua macam hokum lainnya yang masing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam
hokum ini sesungguhnya tidak begitu popular, namun cukup berguna sebagai
tambahan kajian dan perbandingan.
Law of readiness (hokum
kesiapsiagaan) pada perinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme
itu berasal dari pendayagunaan conduction
units (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organism untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hokum ini
semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat
historis.
Low of exercise (hokum
pelatihan) ialah generalisasi atas law of
use dan law of disuse. Menurut Higard & Bower (1975), jika perilaku
(perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi
perilaku tersebut akan semakin kuat (law
of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak
digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan
menurun (law of disuse).[2]
2. Pambiasan
Klasik
Teori
pembiasan klasik (classical conditioning)
ini berkembang berdasarkan hasil eksprimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936), seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondong hadiah Nobel
pada tahun 1909. Pada dasarnya classical
conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara
mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut.
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk
menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pembiasan) dan untuk
membedakannya dari teori conditioning lainnya.
Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasan yang
dituntut).
Dalam
eksprimen, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah
rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respons
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari
itu disebut UCR.
Anjing
percobaan itu mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air
liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum
dilatih (dikenai eksprimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air
liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami
pula aniing itu menunjukkan reaksinya yang relavan, yakni tidak mengeluarkan
air liur.
Kemudian,
dilakukan eksprimen berupa latihan pembiasan mendengarkan bel (CS) bersama-sama
dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang
berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa
disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi
mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi,
CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan
bersama-sama.
Agar
lebih jelas, di bawah ini penyusun gambarkan hubungan antara S-R tersebut baik
yang unconditioned (secara alami)
maupun yang conditioned (buatan yang
dibiasakan).
MODEL
5
Eksprimen
Pembiasan Klasik
Sebelum Eksprimen
Pemberian
makanan (UCS) Air liur keluar (CR)
Bunyi
bel (CS) Tidak ada respons
|
Eksprimen/latihan
Bunyi bel (CS) Pemberian makanan (UCS)
|
Setelah Eksprimen
Bunyi
bel (CS) Air liur keluar (CR)
|
Berdasarkan
eksprimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajara adalah perubahan yang
ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Jadi, pada
prinsipnya hasil eksprimen E.L. Thorndike dimuka kurang lebih sama dengan hasil
eksprimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike
yang behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksprimen
Pavlop ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu selalu disertai dengan
stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akibatnya akan
menimbulkan repons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya,
Skinner berpendapat bahwa proses beljara yang berlangsung dalam eksprimen
Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hokum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara
harfiah, law of respondent conditioning berarti
hukum[3]
pembiasan yang dituntut, sedangkan law of
respondent extinction adalah hokum pemusnahan yang dituntut.
Menurut
Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law
of respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara
bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka reflex yang
ketiga yang terbentuk dari respons atau penguatan reflex dan stimulus lainnya
akan meningkta. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS,
sedangkan reflex ketiga adalah hubungan antara CS dan CR. Sebaliknya, law of respondent extinction ialah jika
reflex yang sudah diperkuat melalui respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan
menurun.
3. Pendekatan
Perilaku (Behavioral Approach)
Aplikasi
toeri-teori belajar dan psikologi perilaku yang mempersyaratkan perubahan
perilaku yang teramati dan dapat diukur. Mulai tampak mendominasi proses
belajar mengajar di LPTK sejak tahun 1978, bersamaan waktunya dengan perubahan
jenjang pendidikan tinggi menjadi kategori diploma system lama yang hanya
mengenal tiga jejang saja. Kondisi psikologis tersebut kemudian ditindaklanjuti
dengan diperbanyaknya matapelajaran kependidikan berikut perangkat lunak dank
eras yang lazim disebut media elektronika, dengan harapan agar mutu lulusan
LPTK menjadi lebih mampu menjalankan tugas-tugas profesionalnya di kemudian
hari.
Dalam
pandangan psikologi perilaku yang dimotori teoriwan Paplov, Thorndike, dan
Skinner, stimulus merupakan penyebab pokok terbentunya respons-respons dalam
belajar. Stimulus yag dimaksud dinamakan operant
conditioning yang dibentuk melalui pengubahan materi bahasan sedemikian
rupa sehingga dapat merangsang pembelajar mengembangkan dan konsepsi classical conditioning yang mengabaikan
jarak antara stimulus (S) dengan respons (S), operant conditioning sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal penggerak
pikiran dan dipandang sebagai mediator dari apa yang diinginkan pemberi
stimulus dengan harapan penerima mengembangkan reaksi pikiran dan tindakan
tertentu (Travers, 1982:18).
Dari
sejumlah teori belajar perilaku yang menonjol tampak adanya kesamaan pandangan
bahwa stimulus, baik yang terkondisi maupun yang terbuka, dipandang sebagai
penggerak awal tindak tindakan belajar yang mendekati salah satu titik-titik
dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju ke arah pemaksaan dalam
belajar. Itulah sebanya, maka sejalan dengan perkembangan teori-teori belajar
itu juga berkembang teori-teori motivasi dan evaluasi yang kemudian
dimanfaatkan para ahli dan praktisi pendidikan untuk menjalankan profesinya.
Aplikasi
toeri-teori belajar operan di bidang pengembangan strategi pembelajaran
terletak pada hasil karya monumental Skinner dalam bentuk pengajaran
Berprogram, dengan pola dasar procedural. Pemberian stimulus-respons-penguatan sebagai satuan-satuan bahasan yang
berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain dengan mrnggunakan pola
jenjang bersyarat Biehler dan Snowan (1982). Sebagai bentuk pengajaran yang
sengaja dirancang untuk memberikan kemudahan belajar menurut percepatan lama
kerja individu, Skinner mengekspresikan agar bahan-bahan belajar hendaknya
berisikan seperangkat langkah-langkah pendek atau frames yang setiap respons harus disiapkan balikan segeranya untuk
mengetahui keakuratan respons yang ada.
Untuk
mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner selanjutnya mengekspresikan empat
teorema pembelajaran sebagai berikut. Pertama, peran pendidikan hakikatnya
adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan saja yang
diberi penguatan. Kedua, stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan
sebagai penunjang aktivitas belajar. Erat kaitannya dengan kedua hal tersebut
adalah teorema ketiga, yang
mengekspresikan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak didiknya
sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan
di kemudian hari. Dalam kaitannya dengan pengelolaan aktivitas individual,
teorema keempat,mengekspresikan agar
pembelajar membuat rekomendasi tentang tugas-tugas belajar mana yang seharusnya
dicoba dahulu sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-hasil apa saja yang
diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang diprogramkan itu.
Teorema Skinner tersebut dalam sejarah
teknologi instruksional telah mendapatkan sambutan yang laur biasa dari
masyarakat dan teman-teman seprofesinya di bidang psikologi dan pendidikan. Hal
ini tampak dari makin banyaknya alternative teknologi pembelajaran yang
beryolak dari konsepsi behavioral
objectives yang berorientasi pada optimasi kemampuan individu, misalnya:
the Keller Plan dengan system pembelajaran personalisasi, Bloom dengan
pendekatan belajar tuntas (mastery
learning), pendekatan audio-tutorial Postlethwait, pembelajran dengan
bantuan computer, system pembelajar Modul PPSP Pakasi, dan sebagainya.
Dari
berbagai macam teknologi pembelajran alternatif yang dapat dilihat dari sejarah
pendidikan decade 60-an dan 70-an, tampak bahwa pada dasarnya tugas utama
pembelajar adalah mengelola aktivitas stimulus, respons, dan pebguatan sebagai
satu kesatuan kerja untuk memvariasikan dan mengoptimalkan terjadinta tindak
belajar (learning actions). Akan
tetapi, dalam praktik tugas ini sering ditafsirkan sebagai pemberi pengetahuan
teoritis deskriptif sebanyak-banyaknya sehingga dalam banyak kejadian di kelas
terkesan nyaris tanpa makna karena tidak dapat diikuti dengan tindak belajar
yang semestinya. Denganberbagai macam dalih dan pembenahan yang tampaknya masuk
akal, dari waktu ke waktu para guru atau dosen pembelajar masih saja lebih
banyak mendominasi dan mengontrol aktivitas belajar di kelas, serta menujuk
mahasiswa sebagai penyebab terjadinya tindak pembelajaran di kelas yang
berkadar CBSA rendah. Sebaliknya, para siswa dan/atau mahasiswa berpendapat
bahwa para guru dan/atau dosennyalah yang kurang mempu membelajarkan mereka.
Jika kenyataan empiris yang bersifat “local” ini juga ada di mana-mana, lalu
bagaimana tindak lanjutnya?[4]
4. Pendekatan
Kognitif Sosial Bandura
Teori
kognitif social (social cognitive theory)
menyatakan factor social dan kognitif, dan juga factor perilaku, melainkan
peran penting dalam pembelajaran. Factor kognitif mungkin berupa ekspektasi
murid untuk meraih keberhasilan; factor social mungkin mencakup pengamatan
murid terhadap perilaku orang tuanya.
Sebagaimana firman Allah
dalam surah Al-Luqman ayat 13 sebagai berikut:
و
ا ذ قا ل لقمن لا بنە و ھو يعظە يبني لاتشر ك با للە ۗ ا ن ا لشر ك لظلم
عظيم
(13)
Artinya:
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “wahai anakku! Janganlah
engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”.
Dari
ayat tersebut kita dapat mengambil pokok pikiran sebagai berikut:
·
Orang tua wajib memberi pendidikan
kepada anak-anaknya. Sebagaimana tugasnya, mulai dari melahirkan sampai akil
baligh.
·
Prioritas pertama adalah penanaman
aqidah dan akhlak. Pendidikan adalah akhlak dan harus diutamakan sebagai
kerangka dasar/landasan dalam membentuk pribadi anak yang sholeh.
·
Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan
yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada anak-anaknya,
yaitu “Yaa Bunyya”, (wahai anakku), seruan tersebut menyiratkan muatan kasih
saying/sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam koridor ketegasan dan
kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras.
Albert
Bandura (1986, 1997,2000, 2001) adalah salah satu arsitek utama teori kognitif
social. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
merepresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif. Ingat
bahwa pengkondisian operan, hubungan terjadi hanya antara pengalaman lingkungan
dengan perilaku. Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang
terdiri dari tiga factor utama: perilaku, person atau kognitif, dan lingkungan.
Seperti ditunjukkan dalam gambar 7.7 faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi
untuk memengaruhi lingkungan, factor person (orang/kognitif) memengaruhi
perilaku, dan sebagainya. Bandura menggunakan istilah person, tetapi kita
memodifikasinya menjadi person (kognitif) karena banyak factor orang yang
dideskripsikannya adalah factor kognitif. Factor person Bandura yang tak punya
kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan personalitas dan temperamen.
Ingat dalam bab 4 “Variasi individu”, dikatakan bahwa factor-faktor tersebut
mungkin mencakup sikap intropert atau ekstrapert, aktif atau inaktif (pasif),
tenang atau cemas, dan rama atau bermusuhan. Factor kognitif mencakup
ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan. Perhatikan
bagaimana, model Bandura dalam kasus perilaku akademik murid sekolah menengah
yang kita sebut saja sebagai Nila.
·
Kognisi
memengaruhi perilaku. Nila menyusun strategi kognitf untuk
berpikir secara lebih mendalam dan logis tentang cara menyelesaikan suatu
masalah. Strategi kognitif menyingkatkan perilaku akademiknya.
·
Perilaku
memengaruhi kognisi. proses (perilaku) belajar Nila mendapat
nilai lebih baik, yang pada gilirannya menghasilkan ekspektasi positif tentang
kemampuannya dan membuat dirinya percaya diri (kognisi).
·
Lingkungan
memengaruhi perilaku. Sekolah tempat Nila belajar baru-baru
ini mengembangan program percontohan, mengelola waktu, dan mengerjakan ujian
secara lebih efektif. Program keterampilan belajar ini meningkatkan perilaku
akademik Nila.
·
Perilaku
memengaruhi lingkungan. Program keterampilan belajar ini
berhasil meningkatkan perilaku akademik banyak kelas Nila. Perilaku akademik
yang meningkat ini memicu sekolah untuk mengembangkan program itu sehingga
semua murid di sekolah itu bisa turut serta.
·
Kognisi
memengaruhi lingkungan. Ekspektasi dan perencanaan dari
kepala sekolah dan para guru memungkinkan program keterampilan belajar itu
terwujud.
·
Lingkungan
memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut mendirikan pusat sumber
daya dimana murid dan orangtua dapat mencari buku dan materi tentang
peningkatan penampilan belajar. Pusat sumber daya ini juga memberikan layanan
tutoring keterampilan belajar untuk murid. Nila dan orangtuanya memetik
keuntungan dari tutoring dan pusat sumber daya ini. Layanan ini meningkatkan
keterampilan berpikir Nila.
Dalam model pembelajaran Bandura, factor
person (kognitif) memainkan peran penting. Factor person (kognitif) yang
ditekankan Bandura (1997, 2001) pada masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan
menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficacy berpengaruh
besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang self-efficacynya rendah
mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak
peracaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Kita akan
membahas lebih banyak tentang self-efficacy ini di bab 13,
“Motivasi, pengajaran, dan pembelajaran”. Berikutnya, kita akan membahas proses
pembelajaran yang penting, yang merupakan kontribusi Bandura lainnya. Saat anda
membaca tentang pembelajaran observasional, perhatikan bagaimana factor person
(kognitif) terlibat. [5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian
konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena
social tertentu.
Sebuah teori pembelajaran biasanya
memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat (berfungsi
sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah, teori
pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai
hokum-hukum pembelajaran kedalam ruang lingkup kecil, teori pembelajaran secara
kreatif berupaya menjelaskan apa itu pembelajaran dan mangapa pembelajaran
berlangsung seperti adanya).
Macam-macam teori pembeljaran
diantaranya: teori koneksionisme, teori pembiasan klasik, teori pembiasan
prilaku respons, teori pendekatan kognitif. Dalam teori koneksionisme kita
dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama,
keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan
berusaha keras untuk keluar. Bahkan barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Kedua,
tersedianya makanan dimuka pintu puzzle
box makanan ini merupakan efek positif yang memuaskan yang dicapai oleh
respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hokum belajar yang disebut law of effect. Berdasarkan teori
pembiasan klasik semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai
dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Proses dalam belajar dalam
teori operant conditioning juga
tunduk pada kedua hukum operant yang
berbeda yakni: law of operant
conditioning dan law of operant
extinctioning. Menurut law of operant
conditioning, jika tibulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya,
menurut law of operant extinctioning
itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut
akan menurun atau bahkan musnah.
Pendekatan psikologi kognitif lebih
menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para
ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan
diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan,
keyakinan dan sebagainya.
3.2 Saran
Dalam pembahasan di atas banyak para
pakar psikologi yang menghabiskan waktunya untuk melakukan eksperimen agar
mendapatkan hasil yang maksimal dalam menerapkan suatu sistem pembelajaran,
selain waktu pastinya juga biaya. Sehingga tidak mudah untuk menjadi seorang
pendidik kita memerlukan teori agar ilmu yang kita sampaikan kepada peserta
didik bisa dicerna dengan baik, sehingga kita perlu untuk mempelajarinya,
karena seorang pendidik tidak dikatakan berhasil apabila ia belum bisa membuat
anak didiknya mengerti tentang apa yang diajarkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hill,
Winfred. 2010. Theories of Learning. Bandung:
Nusa Media.
Syah,
Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Uno,
Hamzah B. 2008. Orientasi dalam Psikologi
Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara.
Santrock,
Jhon W. 2007. Psikologi pendidikan.
Jakarta: Prenadamedia Group.
0 komentar:
Posting Komentar