Selasa, 10 Oktober 2017

TEORI BELAJAR



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Pendidikan yang akan menjamin manusia terus berkuasa di dunia ini. Melalui proses pendidikan manusia akan terus mengembangkan kamampuannya. Ini tidak bisa dibantah adapun hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana proses pendidikan harus berjalan dan bagaimana teknisnya pendidikan dilaksanakan. Kenyataannya miliaran manusia di dunia mengalami kondisi yang beragam.
Persoalan inilah yang saya angkat dalam makalah ini, yakni bagaimana pendidikan dapat dilaksanakan dan dinikmati oleh seluruh manusia di bumi ini tanpa membedakan keberagamannya. Setiap manusia mempunyai hak-hak sama dan jika kenyataannya ada kesenjangan berarti mungkin ada ketidakadilan disana.
Makalah ini mempertemukan berbagai teori pendidikan yang telah dikembangkan dari teori pendidikan pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan pembahasan yang cukup teknis dimaksudkan agar pembaca bisa mengetahui bagaimana citra rasa bidang tersebut.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu teori pembelajaran?
2.      Apa  fungsi teori pembelajaran?
3.      Apa saja macam-macam pembelajaran?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teori
Dari bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena social tertentu.
2.2       Fungsi-fungsi Teori
sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat. Teori pembelajaran adalah pendekatan terhadap suatu bidang pengetahuan; suatu cara menganalisis, membicarakan dan meneliti pembelajaran. Teori pembelajaran menggambarkan sudut pandang peneliti mengenai aspek-aspek pembelajaran yang bernilai untuk dipelajari, variabel-variabel independen yang harus dimani pulasi dan variable-variabel dependen yang harus dikaji, teknik-teknik penelitian yang hendak digunakan, dan bahasa apa yang harus digunakan untuk mendiskripsikan temuan-temuannya. Dengan demikian teori berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah.
Teori pembelajaran  berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran ke dalam ruang yang cukup kecil. Dalam proses peringkasan ini, beberapa segi akurasi  dan detail cenderung untuk hilang. Dalam ilmu-ilmu yang sangat eksak dan berkembang dengan baikseperti fisika dan kimia, teori-teori bisa dengan sangat bagus meringkas hokum-hukum sehingga prediksi-prediksi yang dihasilkan dari teori bisa aman akuratnya dengan hokum-hukum yang jauh lebih detail. Psikologi sejauh ini kurang berhasil dengan usahanya menemukan teori-teori semacam itu. Teori-teori pembelajaran, dalam upayanya meringkas sejumlah besar pengetahuan, kehilangan akurasi dan kekomplitan. [1]


2.3 Macam-macam Teori Pembelajaran
1.      Koneksionisme
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksprimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksprimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memeroleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksprimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksprimen di atas, Thorndike menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of Learning”. Di samping itu, teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksprimen Throndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan keadaan lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hamper dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut low of effect. Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulasi dengan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dengan respons tersebut. Hokum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam teori operant conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.
Disamping low of effect, Thorndike juga mengemukakan dua macam hokum lainnya yang masing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam hokum ini sesungguhnya tidak begitu popular, namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan.
Law of readiness (hokum kesiapsiagaan) pada perinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction units (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organism untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hokum ini semata-mata bersifat spekulatif yang menurut Reber (1988), hanya bersifat historis.
Low of exercise (hokum pelatihan) ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse. Menurut Higard & Bower (1975), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka perilaku tersebut akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).[2]






2.      Pambiasan Klasik
Teori pembiasan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksprimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondong hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut.
            Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pembiasan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya. Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasan yang dituntut).
Dalam eksprimen, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksprimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula aniing itu menunjukkan reaksinya yang relavan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksprimen berupa latihan pembiasan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Agar lebih jelas, di bawah ini penyusun gambarkan hubungan antara S-R tersebut baik yang unconditioned (secara alami) maupun yang conditioned (buatan yang dibiasakan).

MODEL 5
Eksprimen Pembiasan Klasik

Sebelum Eksprimen

Pemberian makanan (UCS)                     Air liur keluar (CR)
Bunyi bel                   (CS)                      Tidak ada respons
Eksprimen/latihan

Bunyi bel                   (CS)       Pemberian makanan (UCS)

Setelah Eksprimen

Bunyi bel                  (CS)                       Air liur keluar (CR)


Berdasarkan eksprimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajara adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksprimen E.L. Thorndike dimuka kurang lebih sama dengan hasil eksprimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksprimen Pavlop ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akibatnya akan menimbulkan repons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya, Skinner berpendapat bahwa proses beljara yang berlangsung dalam eksprimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hokum yang berbeda, yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara harfiah, law of respondent conditioning berarti hukum[3] pembiasan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hokum pemusnahan yang dituntut.
Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka reflex yang ketiga yang terbentuk dari respons atau penguatan reflex dan stimulus lainnya akan meningkta. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan UCS, sedangkan reflex ketiga adalah hubungan antara CS dan CR. Sebaliknya, law of respondent extinction ialah jika reflex yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan menurun.

3.      Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)
Aplikasi toeri-teori belajar dan psikologi perilaku yang mempersyaratkan perubahan perilaku yang teramati dan dapat diukur. Mulai tampak mendominasi proses belajar mengajar di LPTK sejak tahun 1978, bersamaan waktunya dengan perubahan jenjang pendidikan tinggi menjadi kategori diploma system lama yang hanya mengenal tiga jejang saja. Kondisi psikologis tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diperbanyaknya matapelajaran kependidikan berikut perangkat lunak dank eras yang lazim disebut media elektronika, dengan harapan agar mutu lulusan LPTK menjadi lebih mampu menjalankan tugas-tugas profesionalnya di kemudian hari.
Dalam pandangan psikologi perilaku yang dimotori teoriwan Paplov, Thorndike, dan Skinner, stimulus merupakan penyebab pokok terbentunya respons-respons dalam belajar. Stimulus yag dimaksud dinamakan operant conditioning yang dibentuk melalui pengubahan materi bahasan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang pembelajar mengembangkan dan konsepsi classical conditioning yang mengabaikan jarak antara stimulus (S) dengan respons (S), operant conditioning sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal penggerak pikiran dan dipandang sebagai mediator dari apa yang diinginkan pemberi stimulus dengan harapan penerima mengembangkan reaksi pikiran dan tindakan tertentu (Travers, 1982:18).
Dari sejumlah teori belajar perilaku yang menonjol tampak adanya kesamaan pandangan bahwa stimulus, baik yang terkondisi maupun yang terbuka, dipandang sebagai penggerak awal tindak tindakan belajar yang mendekati salah satu titik-titik dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju ke arah pemaksaan dalam belajar. Itulah sebanya, maka sejalan dengan perkembangan teori-teori belajar itu juga berkembang teori-teori motivasi dan evaluasi yang kemudian dimanfaatkan para ahli dan praktisi pendidikan untuk menjalankan profesinya.
Aplikasi toeri-teori belajar operan di bidang pengembangan strategi pembelajaran terletak pada hasil karya monumental Skinner dalam bentuk pengajaran Berprogram, dengan pola dasar procedural. Pemberian stimulus-respons-penguatan sebagai satuan-satuan bahasan yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain dengan mrnggunakan pola jenjang bersyarat Biehler dan Snowan (1982). Sebagai bentuk pengajaran yang sengaja dirancang untuk memberikan kemudahan belajar menurut percepatan lama kerja individu, Skinner mengekspresikan agar bahan-bahan belajar hendaknya berisikan seperangkat langkah-langkah pendek atau frames yang setiap respons harus disiapkan balikan segeranya untuk mengetahui keakuratan respons yang ada.
Untuk mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner selanjutnya mengekspresikan empat teorema pembelajaran sebagai berikut. Pertama, peran pendidikan hakikatnya adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan saja yang diberi penguatan. Kedua, stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan sebagai penunjang aktivitas belajar. Erat kaitannya dengan kedua hal tersebut adalah teorema ketiga, yang mengekspresikan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak didiknya sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan di kemudian hari. Dalam kaitannya dengan pengelolaan aktivitas individual, teorema keempat,mengekspresikan agar pembelajar membuat rekomendasi tentang tugas-tugas belajar mana yang seharusnya dicoba dahulu sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-hasil apa saja yang diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang diprogramkan itu.
 Teorema Skinner tersebut dalam sejarah teknologi instruksional telah mendapatkan sambutan yang laur biasa dari masyarakat dan teman-teman seprofesinya di bidang psikologi dan pendidikan. Hal ini tampak dari makin banyaknya alternative teknologi pembelajaran yang beryolak dari konsepsi behavioral objectives yang berorientasi pada optimasi kemampuan individu, misalnya: the Keller Plan dengan system pembelajaran personalisasi, Bloom dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning), pendekatan audio-tutorial Postlethwait, pembelajran dengan bantuan computer, system pembelajar Modul PPSP Pakasi, dan sebagainya.
Dari berbagai macam teknologi pembelajran alternatif yang dapat dilihat dari sejarah pendidikan decade 60-an dan 70-an, tampak bahwa pada dasarnya tugas utama pembelajar adalah mengelola aktivitas stimulus, respons, dan pebguatan sebagai satu kesatuan kerja untuk memvariasikan dan mengoptimalkan terjadinta tindak belajar (learning actions). Akan tetapi, dalam praktik tugas ini sering ditafsirkan sebagai pemberi pengetahuan teoritis deskriptif sebanyak-banyaknya sehingga dalam banyak kejadian di kelas terkesan nyaris tanpa makna karena tidak dapat diikuti dengan tindak belajar yang semestinya. Denganberbagai macam dalih dan pembenahan yang tampaknya masuk akal, dari waktu ke waktu para guru atau dosen pembelajar masih saja lebih banyak mendominasi dan mengontrol aktivitas belajar di kelas, serta menujuk mahasiswa sebagai penyebab terjadinya tindak pembelajaran di kelas yang berkadar CBSA rendah. Sebaliknya, para siswa dan/atau mahasiswa berpendapat bahwa para guru dan/atau dosennyalah yang kurang mempu membelajarkan mereka. Jika kenyataan empiris yang bersifat “local” ini juga ada di mana-mana, lalu bagaimana tindak lanjutnya?[4]

4.      Pendekatan Kognitif Sosial Bandura
Teori kognitif social (social cognitive theory) menyatakan factor social dan kognitif, dan juga factor perilaku, melainkan peran penting dalam pembelajaran. Factor kognitif mungkin berupa ekspektasi murid untuk meraih keberhasilan; factor social mungkin mencakup pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.  
Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Luqman ayat 13 sebagai berikut:

و ا ذ قا ل لقمن لا بنە و ھو يعظە يبني لاتشر ك با للە ۗ ا ن ا لشر ك لظلم
عظيم (13)
Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dari ayat tersebut kita dapat mengambil pokok pikiran sebagai berikut:
·         Orang tua wajib memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Sebagaimana tugasnya, mulai dari melahirkan sampai akil baligh.
·         Prioritas pertama adalah penanaman aqidah dan akhlak. Pendidikan adalah akhlak dan harus diutamakan sebagai kerangka dasar/landasan dalam membentuk pribadi anak yang sholeh.
·         Dalam mendidik hendaknya menggunakan pendekatan yang bersifat kasih sayang, sesuai makna seruan Lukman kepada anak-anaknya, yaitu “Yaa Bunyya”, (wahai anakku), seruan tersebut menyiratkan muatan kasih saying/sentuhan kelembutan dan kemesraan, tetapi dalam koridor ketegasan dan kedisplinan, bukan berarti mendidik dengan keras.

Albert Bandura (1986, 1997,2000, 2001) adalah salah satu arsitek utama teori kognitif social. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif. Ingat bahwa pengkondisian operan, hubungan terjadi hanya antara pengalaman lingkungan dengan perilaku. Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari tiga factor utama: perilaku, person atau kognitif, dan lingkungan. Seperti ditunjukkan dalam gambar 7.7 faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk memengaruhi lingkungan, factor person (orang/kognitif) memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Bandura menggunakan istilah person, tetapi kita memodifikasinya menjadi person (kognitif) karena banyak factor orang yang dideskripsikannya adalah factor kognitif. Factor person Bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan personalitas dan temperamen. Ingat dalam bab 4 “Variasi individu”, dikatakan bahwa factor-faktor tersebut mungkin mencakup sikap intropert atau ekstrapert, aktif atau inaktif (pasif), tenang atau cemas, dan rama atau bermusuhan. Factor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan. Perhatikan bagaimana, model Bandura dalam kasus perilaku akademik murid sekolah menengah yang kita sebut saja sebagai Nila.
·         Kognisi memengaruhi perilaku. Nila menyusun strategi kognitf untuk berpikir secara lebih mendalam dan logis tentang cara menyelesaikan suatu masalah. Strategi kognitif menyingkatkan perilaku akademiknya.
·         Perilaku memengaruhi kognisi. proses (perilaku) belajar Nila mendapat nilai lebih baik, yang pada gilirannya menghasilkan ekspektasi positif tentang kemampuannya dan membuat dirinya percaya diri (kognisi).
·         Lingkungan memengaruhi perilaku. Sekolah tempat Nila belajar baru-baru ini mengembangan program percontohan, mengelola waktu, dan mengerjakan ujian secara lebih efektif. Program keterampilan belajar ini meningkatkan perilaku akademik Nila.
·         Perilaku memengaruhi lingkungan. Program keterampilan belajar ini berhasil meningkatkan perilaku akademik banyak kelas Nila. Perilaku akademik yang meningkat ini memicu sekolah untuk mengembangkan program itu sehingga semua murid di sekolah itu bisa turut serta.
·         Kognisi memengaruhi lingkungan. Ekspektasi dan perencanaan dari kepala sekolah dan para guru memungkinkan program keterampilan belajar itu terwujud.
·         Lingkungan memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut mendirikan pusat sumber daya dimana murid dan orangtua dapat mencari buku dan materi tentang peningkatan penampilan belajar. Pusat sumber daya ini juga memberikan layanan tutoring keterampilan belajar untuk murid. Nila dan orangtuanya memetik keuntungan dari tutoring dan pusat sumber daya ini. Layanan ini meningkatkan keterampilan berpikir Nila.
Dalam model pembelajaran Bandura, factor person (kognitif) memainkan peran penting. Factor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997, 2001) pada masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang self-efficacynya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak peracaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Kita akan membahas lebih banyak tentang self-efficacy ini di bab 13, “Motivasi, pengajaran, dan pembelajaran”. Berikutnya, kita akan membahas proses pembelajaran yang penting, yang merupakan kontribusi Bandura lainnya. Saat anda membaca tentang pembelajaran observasional, perhatikan bagaimana factor person (kognitif) terlibat. [5]



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena social tertentu.
Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat (berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah, teori pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hokum-hukum pembelajaran kedalam ruang lingkup kecil, teori pembelajaran secara kreatif berupaya menjelaskan apa itu pembelajaran dan mangapa pembelajaran berlangsung seperti adanya).
Macam-macam teori pembeljaran diantaranya: teori koneksionisme, teori pembiasan klasik, teori pembiasan prilaku respons, teori pendekatan kognitif. Dalam teori koneksionisme kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Kedua, tersedianya makanan dimuka pintu puzzle box makanan ini merupakan efek positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hokum belajar yang disebut law of effect. Berdasarkan teori pembiasan klasik semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operant yang  berbeda yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinctioning. Menurut law of operant conditioning, jika tibulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinctioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah.
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
3.2 Saran
Dalam pembahasan di atas banyak para pakar psikologi yang menghabiskan waktunya untuk melakukan eksperimen agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam menerapkan suatu sistem pembelajaran, selain waktu pastinya juga biaya. Sehingga tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik kita memerlukan teori agar ilmu yang kita sampaikan kepada peserta didik bisa dicerna dengan baik, sehingga kita perlu untuk mempelajarinya, karena seorang pendidik tidak dikatakan berhasil apabila ia belum bisa membuat anak didiknya mengerti tentang apa yang diajarkan.         





DAFTAR PUSTAKA

Hill, Winfred. 2010. Theories of Learning. Bandung: Nusa Media.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Santrock, Jhon W. 2007. Psikologi pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group.


[1] Winfred F. Hill, Theories of Learning (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 27.
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 103-104
[3] Ibid, hlm. 104-106
[4] Hamzah B. Uno, Orientasi dalam psikologi pembelajaran  (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),  hlm. 50-52.
[5] Jhon W. Santrock. Psikologi  (Jakarta: Prenadamedia Group, 2007), hlm. 285-286

0 komentar:

Posting Komentar